PERJALANAN KARIR

"God's plans are always better"

          Meniti karir sebagai seorang guru, sebenarnya bukan impian saya. Kenapa begitu? Bapak saya seorang guru. Saya tidak tahu persis jumlah gaji beliau, namun yang saya tahu, Bapak tidak memiliki apa-apa. Bapak hanya punya satu sepeda tua peninggalan kakeknya. Rumah yang kami tempati adalah rumah warisan dari orang tua Bapak. Beliau adalah sosok laki-laki sederhana yang tidak mengenal shopping, pakaian, barang bermerk, jajan kulineran atau juga travelling. Bapak hanya mendedikasikan hidupnya untuk mengajar dan untuk mendidik kami, 4 orang putrinya. Saya masih ingat betapa sedihnya hati saya saat waktunya membayar uang SPP atau untuk keperluan yang lebih besar seperti study tour anak-anaknya, Bapak harus berhutang dulu pada orang lain karena gajinya yang hanya cukup untuk makan sederhana bagi kami sekeluarga. Ketika kami berempat sudah sekolah semua Bapak beternak burung puyuh. Alhamdulillah hasilnya bisa membantu keuangan Bapak untuk menyekolahkan semua anak-anaknya sampai perguruan tinggi. 
           Sewaktu lulus SMA, saya bercita-cita untuk masuk ke Fakultas Psikologi, namun dilarang oleh Bapak karena universitas yang ada jurusan psikologi ada di luar kota. Bapak hanya memberi ultimatum bahwa, kalau mau kuliah harus kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan tidak boleh keluar kota karena Bapak tidak sanggup untuk membiayai hidup saya di luar kota. Selain itu kata Bapak, saya harus ingat bahwa ada 3 adik saya yang juga perlu sekolah, jadi saya tidak boleh egois dan harus bisa kuliah di PTN.  Kalau saya tidak bisa lolos masuk PTN,maka saya tidak bisa kuliah. Karena itulah, saya memutuskan membuang jauh-jauh cita-cita saya untuk menjadi seorang Psikolog, saya mengikuti saran Bapak untuk masuk ke FKIP jurusan Bahasa Inggris, karena kata Bapak nilai Bahasa Inggris saya selalu bagus. “Pasti kamu diterima” kata Bapak menyemangati saya. 
        Benar kata Bapak, saya diterima di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa Inggris di satu-satunya universitas negeri di kota Solo: Universitas Sebelas Maret. Saya berpikir, saya anak jurusan Bahasa Inggris, kalau lulus tidak harus menjadi guru.  Saya tidak mau bergaji kecil seperti Bapak. Saya bisa melamar pekerjaan di perusahaan keren dengan ijazah dari jurusan  Bahasa Inggris. Dengan pemikiran dan harapan itu, saya nikmati masa-masa kuliah saya dengan segala kesulitan dan tantangannya. 
          Di semester 7 ada tawaran dari kampus untuk  ikut ikatan dinas, artinya selesai kuliah saya bisa langsung diangkat menjadi CPNS dan mengajar, namun karena saya tidak ingin menjadi guru, tawaran itu saya tolak, tentu saja tanpa berkonsultasi ke Bapak. Soalnya kalau Bapak tahu, pasti saya disuruh mengikuti ikatan dinas itu. 
          Namun jalan hidup berkata lain, setelah lulus kuliah, saya mengadu nasib ke Tangerang. Saya melamar ke berbagai perusahaan agar bisa bekerja di sana sebagai wanita karir yang keren, yang saya idam-idamkan. Namun sayangnya, lamaran-lamaran yang saya kirimkan belum juga mendapat panggilan. Sambil menunggu panggilan lamaran, saya mencoba mengajar di sekolah. Tak disangka, ternyata saya dibuat jatuh hati dan tak bangun-bangun, pada anak-anak, pada sekolah, pada sosok ajaib yang ternyata ada dalam diri saya yang biasa dipanggil anak-anak dengan panggilan “Bu Guru”. Betapa profesi ini membuat saya merasa berharga dan bermanfaat meskipun gaji yang saya terima sebagai guru honor juga tak banyak, namun ada kebahagiaan tersendiri yang luar biasa yang saya rasakan, ketika bisa memberi arti pada anak-anak murid saya. 
Sembilan tahun lamanya saya mengabdi menjadi guru honor. Pada tahun 2009, alhamdulillah saya lolos tes CPNS dan ditempatkan di sebelah utara Kabupaten Tangerang. Tepatnya di dekat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kampung Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji.  Saya ditempatkan di pesisir pantai. Daerah miskin di Kabupaten Tangerang. Di balik rasa syukur yang luar biasa karena akhirnya saya berhasil menjadi abdi negara yang diakui, terselip perasaan gemetar, takut, karena jarak yang harus saya tempuh dari rumah adalah 40 kilometer, kalau pulang pergi saya akan menempuh jarak kurang lebih 80 kilometer. Itu sekitar 3 jam perjalanan naik motor, berangkat dan pulang. Akan memakan waktu lebih lama lagi untuk naik angkutan umum karena tidak ada jalur langsung ke sana. Saya harus berganti angkutan 4 kali ditambah naik ojek 20 menit, karena sekolah saya tidak terjangkau angkutan umum.
Pertama menerima kabar penempatan, saya sudah berusaha menghubungi Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk berkonsultasi dan kalau bisa mau minta pindah ke tempat yang lebih dekat dari rumah. Namun saat itu perwakilan BKD mengingatkan saya bahwa Pakuhaji masih wilayah Kabupaten Tangerang, masih wilayah yang bisa saya jangkau. Bahkan beliau mengingatkan saya bahwa saya adalah abdi negara yang harus siap ditempatkan dimanapun negara membutuhkan saya. Jleeeeeb…, saya tidak mampu lagi berkata-kata selain mengiyakan perkataan beliau. Saya pamit dan walaupun berat saya menerima tugas baru saya. 
 Perjuangan saya dimulai. Saya harus mencari tahu dimana letak SMP Negeri 3 Pakuhaji untuk lapor diri, waktu itu saya diantar seorang teman. Kami naik motor melewati jalan raya, jalan pinggir sungai besar, jalan pinggir sungai kecil, sawah-sawah yang luas dan setelah bertanya belasan kali, akhirnya sampailah kami sebuah sekolah di belokan dekat sungai dimana perahu-perahu kecil tertambat, sebuah sekolah yang terletak tepat ditengah-tengah sawah.  
Luar biasa sekali tantangannya. Saya berpikir bagaimana saya bisa bertugas setiap hari dengan begitu jauh jarak yang saya tempuh? Ya Allah kuatkan saya, demikian saya berdoa. Saya diterima dengan baik oleh wakil kepala sekolah saat itu. Beliau senang sekali karena memang di sekolah itu, baru ada 5 PNS, satu kepala sekolah, satu wakil kepala sekolah, satu Kepala TU dan 2 orang guru, sisanya adalah guru honor dan staff Tu yang statusnya juga honor.
Sebenarnya ada 3 orang teman saya sama-sama CPNS bersamaan dengan saya penempatannya di sekolah ini: satu guru IPA dan  satu lagi guru Matematika. Guru CPNS IPA tidak pernah mengajar di sekolah saya itu. Dia bertahan di sekolah lamanya. Bu Guru ini datang ke sekolah saya hanya kalau mengambil gaji karena namanya ada di sekolah saya.  Beberapa bulan kemudian Bu guru tersebut sudah pindah dan menetap di sekolahnya yang lama. Guru CPNS Matematika agak lumayan, sempat mengajar selama 6 bulan, tiap  pulang sekolah saya bonceng sampai di Grand Tomang atau Kutabumi, tapi setelah 6 bulan dia menghilang pindah ke sekolah baru yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya tanpa memberi tahu saya sama sekali. Jadi fix hanya saya yang bertahan. Lumayan sedih waktu itu, tapi saya tetap bertahan karena saya percaya satu hal bahwa sekolah saya yang baru ini pasti benar-benar membutuhkan saya, jadi Allah menempatkan saya di sini. Dan juga saya berpikir bahwa mungkin inilah yang akan menjadi ladang ibadah saya. Semoga Allah selalu memberi saya kesehatan agar tetap bisa melaksanakan tugas dengan baik. Itu saja doa saya selalu kepada Allah. Ketika saya merasa ingin pindah, saya berpikir bahwa Allah pasti punya rencana terbaik yang saya tidak tahu ketika menempatkan saya di sekolah saya ini. 
Saya mulai bekerja dengan perasaan galau. Bulan pertama saya bekerja, saya sering sekali terlambat, kadang karena macet, kadang karena harus berteduh karena hujan turun dengan lebat disertai petir besar-besar, tapi ketika sampai sekolah kering dan cuaca cerah.  Kadang terlambat karena tersesat,  mencoba jalur baru dalam rangka menghindari macet.  Terkadang terlambat juga karena motor bocor bannya atau mogok. Maklum waktu itu masih pakai motor butut hehe. Terus satu lagi, saat itu setiap 3 hari sekali pasti saya harus minum obat flu dan kerokan, karena kena angin di jalan.  
Butuh waktu lumayan panjang bagi saya untuk beradaptasi dengan diri saya sendiri agar terbiasa menempuh jarak yang panjang tanpa sakit dan kelelahan. Dan juga butuh waktu juga bagi saya untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan peserta didik.
Tiga bulan pertama, saya tidak pernah mau mengajar berjalan menjangkau ke belakang karena menurut saya, anak-anak cowok yang duduk di belakang bau, rambutnya terlihat kumal jarang keramas, badan penuh panu sampai ke wajah, seragam putihnya sudah memudar,  warnanya putih kecoklatan dan tidak digosok rapi.  Kuku yang hitam-hitam panjang jarang dipotong. Sungguh sangat kontras dengan murid-murid saya di sekolah lama saya di kota yang lebih bersih dan rapi. Belum lagi kelas di belakang yang jarang di sapu bersih mentang-mentang ada di belakang. Lantainya menghitam karena kelamaan tidak dipel  kena tanah, sampah bekas makanan berserakan bau sekali. Huuuh tambah membuat saya tidak mau sampai ke belakang kelas.
Prestasi akademik anak-anak di sekolah saya tidak tinggi. Mereka mau bersekolah setiap hari saja sudah sangat bagus. Banyak dari mereka yang hidup jauh dibawah garis kemiskinan. Rumah hanya satu kamar, lantai masih tanah, orang tua kerja serabutan atau bahkan tidak punya pekerjaan. Kadang kalau saya dan teman-teman guru yang lain visit mereka yang jarang masuk ternyata alasannya karena anak tersebut ikut bekerja membantu ekonomi keluarga. Ada juga keluarga broken home yang ditinggal orang tua bercerai, ayah dan ibunya masing-masing sudah menikah lagi dan anaknya ini diikutkan neneknya yang sudah sangat tua. Jadi kurang bisa mengontrol cucunya. Ada lagi murid, dia anak yatim yang ibunya tidak bekerja, sepatunya sobek-sobek dan malu ke sekolah. Sempat saya belikan sepasang sepatu untuknya sehingga dia mau sekolah kembali. Setiap tahun  ada saja yang berhenti sekolah untuk menikah. Setiap tahun juga ada saja siswa yang ke sekolah harus dijemput untuk ujian karena di rumah tidak ada orang sehingga tidak ada yang membangunkan. Setiap tahun juga ada anak yang putus sekolah alasannya sekolahnya jauh dan tidak punya sepeda untuk jalan. Intinya mereka kurang motivasi sekolah karena masalah ekonomi dan dukungan orang tua jarang mereka dapatkan. 
Saya banyak belajar dari anak-anak. Saya jadi tidak mudah menjudge orang lain. Di kelas anak-anak mungkin merupakan anak yang terlihat tidak baik karena jarang masuk, malas mengerjakan tugas, baju tidak kunjung rapi, penampilan berantakan, sering terlambat, dan lain-lain. Dibalik semua yang terjadi di sekolah mereka hanyalah anak-anak yang kurang beruntung karena beban hidup yang luar biasa. Sungguh  saya belum tentu sanggup menyangganya ketika sekecil mereka. Saya terus belajar untuk tetap bertahan dan belajar untuk menjadi contoh yang baik untuk murid-murid saya meskipun sulit. Belajar untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik. Tidak boleh lagi terlambat apapun alasannya. Saya kemudian berusaha tidak terlambat lagi dengan berangkat lebih pagi dan boleh dibilang saya menjadi guru yang datang paling pagi di sekolah. 
Tahun demi tahun berjalan. Bekerja bersama guru-guru yang lain, anak-anak yang kurang rapi dinasehatin untuk lebih rapi dan hidup lebih bersih lagi, diadakan juga razia kuku dan rambut secara teratur. Khusus untuk anak-anak yang panuan, saya panggil, saya beri masukan sehalus mungkin agar mereka tidak tersinggung. Saya kasih tahu harus memakai sabun apa dan obat apa biar sembuh. Sebelum belajar sering saya bacakan cerita memotivasi termasuk salah satunya pemeliharaan diri, etika bergaul, berpakaian, etika makan dan juga saran kepada mereka agar tidak lagi mencuci baju di sungai agar terhindar dari penyakit kulit. Karena saya masih melihat ibu-ibu mencuci baju di sungai yang airnya keruh luar biasa. 
Kadang terasa berat memotivasi anak-anak, seakan tidak ada hasilnya. Ingin berhenti karena anak-anak masih malas belajar dan masih belum banyak berubah. Namun saya percaya pasti ada yang mendengarkan saya meskipun pelan dan tak terlihat. Dan sepertinya saya benar saaat saya diinbox di facebook oleh seorang alumni yang lulus SMA, karena keterbatasan biaya anak tersebut tidak kuliah tetapi menyatakan ke saya bahwa dia harus kuliah apapun yang terjadi. Tahun ini dia bekerja dan menabung dulu kemudian baru akan kuliah. Dia bilang begitu karena dia terinspirasi dari cerita gurunya ini. Terharu rasanya…
            Kepala sekolah berganti satu demi satu. Bapak H. Fadludin, Bapak Mamat Rohimat, Bapak Triyana. Alhamdulillah para Kepala Sekolah saya ini sangat mensupport saya, memberi dorongan moril dan layaknya anak dan Bapak. Bp H. Fadludin misalnya, saya memanggilnya Abi, sudah seperti orang tua bagi saya. Setiap ada hajat penting dalam hidup saya dan keluarga, saya selalu memohon doa restu beliau dan Umi, istrinya. Beliau berdua baik sekali, teladan dalam hidup, rasanya tenang dan adem kalau berbincang dengan beliau berdua. 
            Selanjutnya Bp Mamat Rohimat, beliau merupakan Kepala Sekolah muda dan cerdas, hampir semua bidang beliau kuasai. Prestasi sekolah merangkak naik berkat beliau. Beliau dulunya adalah guru berprestasi, saya didorong untuk mengikuti jejak beliau. Semula saya menolak untuk ikut kegiatan pemilihan guru berprestasi di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang.  Saya merasa belum pantas. Tahun pertama beliau di sekolah saya, saya bisa mengelak agar tidak mengikuti kegiatan tersebut, namun tahun kedua, beliau memanggil saya dengan serius dan meminta saya untuk mengikuti acara tersebut. Untuk menghormati beliau saya ikut acara tersebut meskipun sungguh saya merasa bukan siapa-siapa dan belum pantas menjadi guru berprestasi. Pikir saya, kalau saya sudah coba dan tak berhasil beliau akan diam dan tak akan menyuruh saya lagi. Maka berangkatlah saya mengikuti seleksi pemilihan guru berprestasi di tingkat Kabupaten Tangerang dengan persiapan belajar mengikuti petunjuk dari Bapak Kepala Sekolah.
           Pagi itu saya tidak nafsu sarapan sama sekali. Perut rasanya bergejolak dan pikiran gelisah. Takut dan was-was, nervous kalau kata orang Jerman mah hehe. Tapi saya sempatkan untuk mampir untuk membeli susu kaleng untuk menganjal perut, bagaimanapun saya perlu tenaga untuk melewati hari itu. 
Upacara pembukaan dilakukan di aula. Sungguh saya sangat merasa minder sekali ketika  melihat begitu banyak orang dalam aula yang notabene adalah peserta. Apakah remahan rengginang ini berarti di sini? Begitu tanya saya dalam hati. Tapi saya tetapkan hati untuk bertahan mengikuti acara demi acara, tahap demi tahap meskipun rasanya saya akan pulang membawa kegagalan, tapi paling tidak saya pasti dapat pengalaman berharga. Itu tekad saya saat itu. Emang kelebihan saya yang membuat saya sedikit maju kira-kira  adalah apapun tugas yang diberikan pada saya pasti akan saya lakukan meskipun saya harus berdarah-darah mengerjakannya. Yang penting jalan dulu, gagal belakangan hihi. 
          Kegiatan pemilihan guru prestasi dimulai dengan tes tertulis yang banyak banget soalnya. Kemudian disusul dengan wawancara satu-satu dan kegiatan terakhir adalah presentasi karya ilmiah atau Penelitian Tindakan Kelas di hari kedua. Kegiatan yang sangat menguras energi. Namun sayang kegiatan ini tidak langsung diumumkan siapa pemenangnya. Setelah beberapa hari, Kepala Sekolah saya mengirimkan hasil kegiatan hari itu dan tak disangka ternyata saya mendapat juara kedua.  
          Semua terkejut, sekolah yang udik dan jauh di utara bisa menjadi juara kedua  lomba guru berprestasi. Sepertinya memang saya sedang beruntung. Bahagia rasanya bisa traktir makan teman-teman di sekolah dengan hadiah dari Dinas Pendidikan.
Tahun selanjutnya, saya pikir Bapak Mamat akan diam saat lomba guru prestasi kembali di gelar, namun saya salah, Beliau berkata: “Bu, ikut lagi ya tahun ini, harus juara satu ya”. “ Oh my God,saya mules mendengarnya. “Kalau saya malah kalah gimana Bapak? Saya tidak usah ikut lagi ya Bapak? Kan kemarin sudah menang meskipun hanya juara kedua,” kata saya memohon. Beliau bilang: “Ikut lagi Bu, Ibu harus sampai Provinsi” kata beliau …. Duuuuh beraaaaaat ini Maaaak…           
Akhirnya saya ikut lagi kegiatan tersebut dengan beban berat di dada. Saya berusaha lebih keras lagi dan alhamdulillah saya mendapatkan juara 1 di tingkat Kabupaten Tangerang dan jadilah saya ke Provinsi Banten mewakili Kabupaten Tangerang. Perjuangan berat melawan teman-teman dari berbagai kabupaten dan kota, dan saya harus mengaku kalah dari teman-teman dari kabupaten dan kota lain. Saya tidak mendapatkan juara karena teman-teman saya sudah menerbitkan buku sementara saya hanya menulis PTK untuk kenaikan pangkat saja. Itu kata panelis ke saya saat wawancara. Ngeledek dan bener banget…Huuuuh, ini pelajaran berharga bagi saya.  Saya akan belajar menulis dan suatu saat saya ingin bisa menerbitkan buku saya sendiri. 
Kepala sekolah berganti lagi. Bp Triyana namanya, beliau juga baik sekali orangnya. Tahun lalu ada pemilihan calon kepala sekolah di Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang. Beliau memanggil saya dan beliau merekomendasikan saya untuk bisa mengikuti kegiatan ini. Saat itu sekolah  sedang mempersiapkan diri menghadapi akreditasi sekolah. Luar biasa sibuk dan saya berjanji pada beliau untuk mensukseskan kegiatan akreditasi sekolah, baru saya akan mempersiapkan diri mengikuti kegiatan pemilihan calon kepala sekolah. Alhamdulillah akreditasi berjalan lancar dengan hasil sangat memuaskan. Masih tersisa dua hari untuk mempersiapkan persyaratan yang dibutuhkan. Alhamdulillah semua terpenuhi meskipun harus bekerja ekstra untuk membuat fortofolio. Pada hari terakhir berkas lamaran dan persyaratan selesai dan diserahkan ke dinas.            
Tahap demi tahap harus dilalui:  seleksi berkas yang ketat, tes tertulis yang menguras pemikiran untuk pemecahan kasus dan wawancara yang sangat mendebarkan harus saya lalui dengan semangat dan persiapan tentunya. Dukungan luar biasa dari Kepala Sekolah yang lama maupun yang baru, Bp dan Ibu Pengawas, teman-teman dan juga keluarga sungguh sangat menguatkan saya. Saya telepon Bapak saya dan Ibu mertua saya yang sangat saya hormati dan sayangi di kampung untuk meminta doa dan restu. 
            Saya harus menunggu sebulan untuk hasil apakah saya layak atau tidak menjadi calon kepala sekolah. Di sebuah sore, ada pesan WA dari Bp Mamat: “Selamat Bu, Ibu layak…”. Saya balas: “ Maksudnya apa Bapak? “ Oh Ibu belum dapat suratnya ya, sebentar  ya saya kirim,” tulis beliau. Dan benar ternyata saya dinyatakan layak sebagai calon kepala sekolah. Tak terasa airmata saya jatuh, saya spontan sujud syukur kepada Allah, luar biasa nikmat yang diberikan Allah kepada saya, saya yang masih banyak kekurangan ini diberi kesempatan untuk bisa lolos dalam bursa calon kepala sekolah. Masih sambil menangis haru, saya telepon suami saya, kemudian Bapak dan Ibu mertua saya. Tanpa doa beliau-beliau, saya tidak akan jadi apa-apa. Terimakasih banyak ya Allah. 
           Saat ini saya masih menunggu pandemi Covid-19 berlalu untuk bisa mengikuti diklat calon Kepala Sekolah oleh LPPKS, mohon doa dari semua pembaca semoga saya bisa mengikuti diklat dengan baik dan bisa menjadi kepala sekolah yang amanah saat dilantik nanti. Benar apa yang saya pikirkan dari awal saat saya ditempatkan di sekolah yang jauh dari rumah bahwa Allah punya rencana yang indah untuk saya. Bahwa Allah menempa saya dengan segala kesulitan namun Allah mempertemukan saya dengan orang-orang yang luar biasa baik pada saya, yang selalu mendukung karir saya.  

                                          Foto sekolah saya yang mewah alias mepet sawah 

Tangerang, June 27, 2020
Siti Halimah
SMP Negeri 3 Pakuhaji

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL REMPAH-REMPAH

PEMANDANGAN DARI ATAS JEMBATAN BP2IP

BELAJAR ICE BREAKING DARI KAK KUSUMO